Ikterus atau jaundice adalah perubahan warna jaringan menjadi
kekuningan karena penimbunan bilirubin. Ikterus tampak ketika kadar bilirubin
melebihi 3 mg/100 ml. Retensi bilirubin di jaringan ini terjadi akibat adanya
hiperbilirubinemia serum dan merupakan tanda adanya penyakit hati atau kelainan
hemolitik.
Derajat kenaikan bilirubin dapat diperkirakan melalui
pemeriksaan fisik. Kenaikan bilirubin yang ringan dapat dilihat pada sklera,
yang memiliki afinitas terhadap bilirubin pada kandungan serat elastinnya. Pada
keadaan sklera ikterik diperkirakan kadar bilirubin serum minimal 3 mg/dl.
Selain pada sklera, ikterik dapat dilihat juga di mukosa bawah lidah (bila
ruang periksa menggunakan cahaya fluoresen).
Dengan naiknya kadar bilirubin, kulit akan berwarna kekuningan
pada orang yang memiliki warna kulit terang dan bahkan kehijauan bila proses
ini terus berlangsung. Warna kehijauan ini terjadi akibat oksidasi bilirubin
menjadi biliverdin.
Diagnosis banding warna kekuningan pada kulit : karotenoderma,
penggunaan kuinakrin, dan paparan fenol berlebihan. Karotenoderma terjadi pada
orang sehat yang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak
karoten, seperti : wortel, sayuran hijau, labu, peach, dan jeruk. Pada
karotenoderma, distribusi pigmen terkonsentrasi hanya pada telapak tangan,
telapal kaki, dahi, dan lipatan nasolabial (tidak pada sklera seperti pada
ikterus). Lain halnya dengan ikterus dimana distribusi warna kuning merata ke
seluruh tubuh.
Sedangkan kuinakrin menyebabkan warna kekuningan di kulit (juga
sklera) pada 4-37% pemakainya.
Indikator lainnya yang sensitif terhadap kenaikan bilirubin
serum adalah perubahan warna urine menjadi gelap (menyerupai teh atau cola)
akibat eksresi conjugated bilirubin via renal. Bilirubinuria menunjukkan
kenaikan kadar bilirubin direk serum dan adanya penyakit hati.
Kenaikan kadar bilirubin serum terjadi bila ada
ketidakseimbangan antara produksi dan klirens bilirubin.
Produksi dan metabolisme bilirubin
Evalusi logis penderita dengan ikterus memerlukan pemahaman
tentang produksi dan metabolisme bilirubin.
Bilirubin, suatu pigmen tetrapyrrole, merupakan hasil pemecahan
heme (feroprotoporphyrin IX). Sekitar 70-80% dari 250-300 mg bilirubin yang
diproduksi tiap harinya berasal dari pemecahan hemoglobin eritrosit. Sisanya
berasal dari penghancuran dini sel eritroid di sumsum tulang serta dari
turnover hemoprotein seperti mioglobin dan crytochromes jaringan-jaringan di
seluruh tubuh.
Pembentukan bilirubin terjadi di sel-sel retikuloendotelial
terutama di limpa dan hati.
Pada reaksi pertama yang dikatalisa enzim heme-oksigenase,
jembatan a protorfirin terpecah dan cincin heme terbuka, sehingga dihasilkan
biliverdin, karbon monoksida, dan zat besi.
Pada reaksi ke-2, yang dikatalisa enzim sitosol biliverdin
reduktase, jembatan sentral metilen dari biliverdin tereduksi sehingga diubah
menjadi bilirubin. Bilirubin yang terbentuk di sel-sel retikuloendothelial ini
tidak larut dalam air.
Agar dapat diangkut dalam peredaran darah, bilirubin harus dapat
larut. Untuk itu bilirubin terikat secara reversibel pada albumin dengan ikatan
nonkovalen. Unconjugated bilirubin yang terikat albumin diangkut ke hati dimana
akan diambil oleh hepatosit melalui proses yang melibatkan carrier mediated
membrane transport.
Dalam sitosol hepatosit unconjugated bilirubin berpasangan
dengan protein ligandin. Ligandin berfungsi memperlambat difusi sitosolik
bilirubin dan mengurangi efluxnya kembali ke serum.
Dalam retikulum endoplasmic, bilirubin akan berkonjugasi dengan
asam glukuronat membentuk bilirubin monoglukoronid dan diglukoronid yang larut
dalam air. Konjugasi dengan glukoronat ini dikatalisa oleh enzim bilirubin
uridine-diphospate (UDP) glucuronosyl transferase.
Selanjutnya conjugated bilirubin yang hidrofilik ini berdifusi
dari retikulum endoplasmik ke membran kanalikular dimana bilirubin mono dan
diglukoronid ini akan ditransport aktif ke canalicular bile melalui mekanisme
energy dependent yang melibatkan multiple organic ion transport
protein/multiple drug resistant protein.
Conjugated bilirubin akan diekskresikan melalui aliran empedu ke
duodenum sampai proksimal usus halus. Conjugated bilirubin ini tidak akan
diserap oleh mukosa usus halus. Ketika conjugated bilirubin mencapai bagian
distal dari ileum dan kolon, akan dihidrolisa menjadi unconjugated bilirubin
oleh bakterial b-glucuronidase. Unconjugated bilirubin akan direduksi oleh
bakteri usus normal menjadi urobilinogen (suatu kelompok tetrapyrole yang tidak
berwarna).
Sekitar 80-90% urobilinogen akan diekskresikan melalui feses,
baik dalam bentuk yang tidak berubah atau teroksidasi menjadi urobilin yang
berwarna kuning tua. Sisa urobilinogen (10-20%) akan diabsorpsi pasif, memasuki
aliran darah vena portal, dan diekskresikan kembali oleh hati. Sejumlah kecil
conjugated bilirubin disaring biasanya kurang dari 3 mg/dl keluar dari hepatic
uptake, disaring melalui glomerulus, sebagian besar direabsorpsi di tubulus
proksimal, dan sebagian kecilnya diekskresikan dalam urin.
Konsentrasi bilirubin serum normalnya < 1 mg/dl. Sampai 30%
nya (0,3 mg/dl) adalah conjugated bilirubin. Pada populasi normal kadar
bilirubin serum total berkisar antara 0,2 - 0,9 mg/dl.
Evaluasi Penderita Ikterus
Bilirubin yang terdapat dalam serum menggambarkan keseimbangan
antara produksi bilirubin dan pembuangan pigmen tersebut melalui hepatic atau
biliari.
Hiperbilirubinemi dapat berasal dari :
1. Produksi bilirubin berlebihan
2. Gangguan pada proses uptake, konjugasi atau ekskresi
bilirubin
3. Regurgitasi dari hepatosit atau saluran empedu yang
rusak.
Kenaikan dari unconjugated bilirubin serum berasal dari produksi
berlebihan, gangguan uptake atau konjugasi bilirubin.
Kenaikan conjugated bilirubin karena berkurangnya ekskresi
melalui saluran empedu atau backward leakage.
Langkah pertama dalam mengevaluasi pasien adalah menentukan
:
1. Apakah hiperbilirubin ini berasal dari conjugated atau
unconjugated bilirubin
2. Apakah ada kelainan biokimiawi hati.
Hiperbilirubinemi indirek (unconjugated)
Penting untuk dibedakan apakah yang diderita pasien adalah suatu
proses hemolitik karena produksi bilirubin yang berlebihan (penyakit hemolitik
dan eritropoiesis yang tidak efektif) atau suatu gangguan hepatic
uptake/kojugasi bilirubin (karena efek obat atau kelainan genetik).
Penyakit hemolitik yang menyebabkan produksi heme berlebihan
dapat terjadi secara diturunkan atau didapat. Kelainan herediter termasuk di
dalamnya : sferositosis, anemia sel sabit, defisiensi enzim eritrosit seperti
piruvat kinase dan glukosa-6 fosfat dehidrogenase. Pada keadaan-keadaan
tersebut, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/dl. Kadar bilirubin dapat
lebih tinggi bila disertai disfungsi hati atau ginjal, juga pada kedaan
hemolisis akut seperti pada krisis sel sabit.
Dalam mengevaluasi pasien ikterus pada keadaan hemolisis kronis,
penting untuk diingat bahwa sering ditemukan batu empedu berpigmen (calcium
bilirubinate) yang berakibat terjadinya kholedokholithiasis yang menjelaskan
hiperbilirubinemia.
Penyakit hemolitik yang didapat termasuk : anemia hemolitik
mikroangiopatik (misalnya sindrom hemolitik-uremik), paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria, dan hemolisis imun.
Eritropoiesis yang tidak efektif dijumpai pada keadaan
defisiensi kobalamin, folat, dan Fe.
Bila tidak terdapat hemolisis, dokter harus memikirkan problem
hepatic-uptake atau konjugasi bilirubin. Obat-obat tertentu seperti rifampisin
dan probenesid, dapat menyebabkan hiperbilirubinemi indirek (unconjugated)
dengan cara mengurangi hepatic-uptake bilirubin.
Gangguan konjugasi bilirubin terjadi pada 3 kelainan bawaan,
yaitu : sindrom Criggler-Najjar tipe I dan II, serta sindrom Gilbert. Sindrom
Criggler-Najjar tipe I merupakan keadaan yang sangat jarang, ditemukan pada
neonatus, ditandai dengan ikterus yang berat (bilirubin >20 mg/dl) dan
gangguan neurologis fatal yang mengarah ke kern ikterus. Penderitanya sama
sekali tidak memiliki aktivitas enzim bilirubin UDP glucuronosyltransferase
akibat mutasi gen enzim ini pada posisi domain 3’ dan sama sekali tidak mampu
mengkonjugasi bilirubin, sehingga ekskresi bilirubin tidak terjadi.
Satu-satunya pilihan terapi yang efektif adalah transplantasi hati
orthotopic.
Sindrom Criggler-Najjar tipe II lebih sering terjadi
dibandingkan tipe I. Penderitanya dapat tumbuh sampai dewasa dengan kadar serum
bilirubin berkisar antara 6-25 mg/dl. Pada penderita kelainan ini, aktivitas
enzim bilirubin UDP glucuronosyltransferase berkurang tetapi tidak hilang sama
sekali akibat mutasi pada gennya. Aktivitas enzim ini dapat diinduksi oleh
pemberian fenobarbital, sehingga kadar bilirubin pada penderita akan berkurang.
Meskipun ikterus pada penderita ini tampak jelas, namun penderitanya dapat
bertahan sampai dewasa dengan kemungkinan terjadinya kernikterus karena
penyakitnya sendiri atau prosedur bedah.
Hiperbilirubinemi direk (conjugated)
Ditemukan pada penderita dengan kelainan bawaan yang jarang
berupa sindrom Dubin-Johnson dan Rotor. Penderita kedua sindrom ini mengalami
ikterus asimtomatis, yang khas akan timbul pada generasi ke-dua.
Pada sindrom Dubin-Johnson, defek yang terjadi berupa mutasi
titik pada gen transporter canalicular multispecific organic anion.
Penderitanya memiliki pengurangan kemampuan ekskresi bilirubin ke dalam saluran
empedu.
Pada sindrom Rotor, penderitanya mempunyai problem dalam
menyimpan bilirubin di hati.
Kedua kelainan ini sebenarnya dapat dibedakan, namun secara
klinis tidak penting karena sifatnya ringan.
Kenaikan bilirubin serum dengan abnormalitas fungsi hati
lainnya
Hiperbilirubinemi direk dengan abnormalitas fungsi hati lainnya
harus dibedakan antara proses hepatoselular primer dan kolestatik
intra/ekstrahepatik. Diferensiasinya diperoleh melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Anamnesis
Anamnesis medis yang lengkap barangkali satu-satunya bagian
terpenting dari evaluasi penderita dengan unexplained jaundice. Harus
dipikirkan penggunaan obat-obatan atau paparan zat kimia tertentu, baik di
bawah pengawasan dokter atau tidak seperti jamu dan vitamin, serta anabolik
steroid. Penderita harus ditanyakan dengan seksama mengenai pemakaian obat
parenteral (transfusi, obat intra-vena/via nasal, obat-obat anestesi), tato,
aktivitas seksual, riwayat travelling baru-baru ini, kontak dengan penderita
sakit kuning, paparan dengan makanan yang terkontaminasi, paparan pekerjaan
dengan bahan-bahan hepatotoksik, konsumsi alkohol, lamanya ikterus, dan adanya
gejala-gejala penyerta lain ( artralgia, mialgia, ruam kulit, anoreksia,
turunnya berat badan, nyeri perut, demam, pruritus, serta perubahan urine dan
feses ).
Adanya artralgia dan mialgia yang mendahului ikterus cenderung
ke arah hepatitis, baik viral maupun akibat obat. Anoreksia, nausea, malaise,
dan febris yang mendadak pada penderita dewasa muda cenderung ke arah hepatitis
viral.
Episode berulang nyeri epigastrium dan kuadran kanan atas
abdomen yang mendahului ikterus pada penderita setengah baya atau lansia,
cenderung ke arah penyakit traktus bilier. Ikterus yang disertai nyeri perut
mendadak hebat di kuadran kanan atas dan menggigil hebat (demam tinggi)
cenderung ke arah kholedokholithiasis dan ascending cholangitis.
Ikterus dengan riwayat penyalahgunaan alkohol lama sesuai dengan
hepatitis alkoholik.
Turunnya berat badan kronik disertai kelemahan tubuh yang
mendahului ikterus, sugestif ke arah keganasan. Gejala-gejala ini bila disertai
depresi, flebitis, dan nyeri epigastrium, mengarah ke ca pankreas.
Riwayat pekerjaan tertentu dapat mengarah ke toxin-induced liver
disease.
Riwayat keluarga dengan ikterus memperbesar kemungkinan ganguan
hemolitik seperti penyakit Wilson, sindrom Gilbert, dan defisiensi
a-1-antitripsin.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum harus mencakup penilaian status nutrisi.
Temporal and proximal muscle wasting cenderung ke arah penyakit kronis seperti
keganasan pankreas atau sirosis.
Stigmata penyakit hati kronis termasuk spider naevi, eritema
palmaris, white nails, ginekomasti, caput medussae, kontraktur Dupuytren’s,
pembesaran kelenjar parotis, dan atrofi testis, sering dijumpai pada sirosis
Laennec (sirosis alkoholik lanjut) dan kadang pada sirosis lainnya.
Kayser-Fleischer rings dan perubahan neuropsikiatrik sugestif
untuk penyakit Wilson.
Pigmentasi abu-abu ke arah hemokromatosis.
Distensi vena jugularis, tanda-tanda gagal jantung kanan atau
gagal jantung kiri yang berat, ke arah kongesti pasif (bendungan hati) atau
iskemi hepatoseluler. Efusi pleura kanan tanpa ascites yang mencolok,
menunjukkan sirosis lanjut.
Pembesaran kelenjar getah bening supraklavikular kiri (Virchow’s
node) atau nodul periumbilikal (Sister Mary Joseph’s nodule) menunjukkan
malignansi abdomen.
Pemeriksaan abdomen harus berpusat pada ukuran dan konsistensi
hati, lien teraba/membesar atau tidak, serta apakah ada asites. Pada penderita
sirosis dapat dijumpai pembesaran lobus kiri hati yang teraba di bawah xiphoid,
serta splenomegali. Gross hepatomegali dengan perabaan noduler atau massa
abdomen yang besar cenderung menunjukkan keganasan. Hepatomegali yang nyeri
dapat terjadi pada hepatitis viral atau hepatitis alkoholik, atau yang lebih
jarang pada bendungan hati akut pada gagal jantung kanan.
Nyeri hebat kuadran kanan atas dengan henti nafas saat inspirasi
(Murphy’s sign) menunjukkan kholesistitis atau kadang-kadang ascending
kholangitis.
Asites, splenomegali, dilatasi vena dinding perut, dan
periumbilical venous hum, mengarah ke hipertensi portal.
Asites pada ikterus dapat menunjukkan adanya sirosis atau
keganasan dengan metastasis peritoneal. Terabanya kandung empedu tanpa disertai
nyeri, ke arah karsinoma pankreas.
L a b o r a t o r i u m
Evaluasi pertama yang perlu dilakukan pada penderita dengan
ikterus adalah pemeriksaan :
§ bilirubin serum total dan bilirubin direk dengan
fraksionasi,
§ enzim : aminotransferase (ALT, AST) dan alkali
fosfatase,
§ albumin, dan
§ prothrombin time.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut akan membantu membedakan proses
hepatoseluler dengan proses kholestatik, yang penyebabnya berbeda dan akan
menentukan evaluasi dan penatalaksanaan selanjutnya.
Pemeriksaan bilirubin direk spesifik untuk penyakit
hepatobilier, walaupun (pada >30% kasus) kadar bilirubin totalnya masih
normal. Pemeriksaan bilirubin urine juga dapat menunjukkan kelainan hati yang
masih ringan, karena bilirubin urine berasal dari bilirubin direk.
Penderita dengan proses hepatoseluler, umumnya memiliki kenaikan
aminotransferase yang tidak sebanding dengan kenaikan alkali fosfatase.
Penderita proses kholestatik sebaliknya. Sedangkan bilirubin dapat meningkat
pada kedua proses tersebut. AST dijumpai pada jantung, hati, otot skelet,
ginjal, dan pankreas. ALT walaupun terdistribusi luas pada tubuh, namun
terutama berasal dari hati sehingga pemeriksaan ALT lebih spesifik dalam
mendeteksi penyakit hati. ALT dan AST merupakan tes yang spesifik untuk
mendeteksi adanya nekrosis hepatoseluler. Kadar transaminase melebihi 10x
normal menunjukkan kerusakan hepatoseluler yang akut, seperti : hepatitis
viral, hepatitis karena obat atau toksin, penyakit hati iskemik, atau
kholangitis. Rasio AST : ALT >2 sugestif untuk penyakit hati alkoholik. Pada
umumnya kadar AST dan ALT tidak menggambarkan prognosis.
Alkali fosfatase serum normalnya berasal dari hati, tulang,
plasenta, dan usus halus. Alkali fosfatase sensitif untuk mendeteksi obstruksi
dini saluran empedu intra maupu ekstra hepatik (seringkali saat ikterus belum
terlihat), juga menunjukkan penyakit infiltratif (seperti tuberkulosis,
sarkoidosis), serta space-occupying lesions (abses, neoplasma). Alkali
fosfatase membantu membedakan proses hepatoseluler dari ikterus obstruktif.
Nilai alkali fosfatase >5 kali normal menunjukkan obstruksi. Alkali
fosfatase juga meningkat pada penyakit tulang dan pada kehamilan.
Spesifisitas yang lebih tinggi untuk menunjukkan penyakit hati
adalah dengan pemeriksaan gamma glutamil transpeptidase serum (g-GT), karena
enzim ini tidak meningkat pada penyakit tulang maupun pada kehamilan. Gamma
glutamil transpeptidase serum dijumpai pada ginjal, hati, dan pankreas. Pada
penderita dengan kenaikan alkali fosfatase karena penyakit tulang atau pada
kehamilan, kadar g-GT normal. Enzim 5-nukleotidase serum juga meningkat pada
penyakit hati tetapi tidak pada penyakit tulang, namun meningkat pada
kehamilan.
Kadar albumin serum (seperti prothrombine-time) merupakan
indikator yang baik untuk menilai cadangan fungsi hati. Namun karena waktu
paruhnya yang panjang (20-26 hari), adanya kerusakan hati tidak dapat cepat
dideteksi. Albumin yang rendah menunjukkan proses kronik seperti sirosis atau
keganasan. Albumin normal menunjukkan proses yang lebih akut seperti hepatitis
viral atau kholedokholithiasis.
Kadar g-globulin cenderung untuk meningkat pada penyakit hati
kronis. Peningkatan yang bermakna (>3 gr/dl) sugestif untuk hepatitis kronik
aktif autoimun.
a-1-globulin cenderung rendah pada penyakit hepatoseluler. Bila
enzim ini tidak ditemukan, sugestif untuk menunjukkan defisiensi
a-1-antitripsin yang homozigot.
Prothrombine-time (PT) menggambarkan aktivitas fibrinogen,
protrombin, dan faktor V, VII, X. PT tergantung dari sintesis faktor-faktor ini
di dalam hati dan dari absorpsi vitamin K dari usus. Prothrombine time
memanjang menggambarkan defisiensi vitamin K karena ikterus berkepanjangan dan
malabsorpsi vitamin K, atau menunjukkan disfungsi hepatoseluler yang
signifikan. Bila pemanjangan prothrombine time tidak dapat diperbaiki dengan
pemberian vitamin K parenteral, maka terdapat kerusakan hepatoseluler yang
berat. Hipoprotrombinemi yang berkaitan dengan defisiensi garam empedu dapat
diperbaiki, sedangkan bila terjadi sekunder akibat penyakit hati, tidak dapat
dikoreksi.
Pemeriksaan PT membantu dalam menilai luasnya kerusakan hati dan
menentukan prognosis.
0 komentar:
Posting Komentar